Senin, 25 Mei 2009

Mohammad Natsir (1908-1993)

Mohammad Natsir adalah seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan negara kesatuan RI, yang sekarang menjadi pembicaraan hangat karena melemahnya rasa kesatuan bangsa sebagai akibat reformasi yang kebablasan. Berkali-kali dia menyelamatkan Republik dari ancaman perpecahan. Ia lah yang pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Rum-Royen, untuk kembali ke Jogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Sukarno Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalehan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya. Natsir juga seorang tokoh pendidik, pembela rakyat kecil dan negarawan terkemuka di Indonesia pada abad kedua puluh. Kemudian ketika kegiatan politiknya dihambat oleh penguasa, dia berjuang melalui dakwah dengan membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dimana dia berkiprah sampai akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil.
Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau.
Natsir pada mulanya sekolah di Sekolah Dasar pemerintah di Maninjau, kemudian HIS pemerintah di Solok, HIS Adabiyah di Padang, HIS Solok dan kembali HIS pemerintah di Padang. Natsir kemudian meneruskan studinya di Mulo Padang, seterusnya AMS A 2 (SMA jurusan Sastra Barat) di Bandung. Walaupun akan mendapatkan beasiswa seperti di Mulo dan AMS untuk belajar di Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, dia tidak melanjutkan studinya dan lebih tertarik pada perjuangan Islam.
Pendidikan agama mulanya diperoleh dari orang tuanya, kemudian ia masuk Madrasah Diniyah di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al Qur’an pada malam hari di surau. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika dia berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam di Bandung. Kepribadian A Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam argumentasinya dan berani mengemukakan pendapat tampaknya cukup berpengaruh pada kepribadian Natsir kemudian. Natsir mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan Natsir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam.
Pengalaman organisasinya mulai ketika dia masuk Jong Islamieten Bond (JIB) di Padang. Di Bandung dia menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932, menjadi ketua Partai Islam Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun empat puluhan menjadi anggota Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), cikal bakal partai Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang kemudian dipimpinnya. Ia menjalin hubungan dengan tokoh politik seperti Wiwoho yang terkenal dengan mosinya “Indonesia Berparlemen” kepada pemerintah Belanda, dengan Sukarno, dan tokoh politik Islam lainnya yang kemudian menjadi tokoh Masyumi, seperti Kasman Singodimejo, Yusuf Wibisono dan Mohammad Roem.
Berbeda dengan tokoh pergerakan lainnya, sejak semula Natsir juga bergerak di bidang dakwah untuk membina kader. Pada mulanya ia aktif dalam pendidikan agama di Bandung, kemudian mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang mengasuh sekolah dari TK, HIS, Mulo dan Kweekschool yang dipimpinnya 1932-1942. Di samping itu ia rajin menulis artikel di majalah terkemuka, seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Dalam tulisannya dia membela dan mempertahankan Islam dari serangan kaum nasionalis yang kurang mengerti Islam seperti Ir. Sukarno dan Dr. Sutomo. Khusus dengan Sukarno, Natsir terlibat polemik hebat dan panjang antara tahun 1936-1940an tentang bentuk dan dasar negara Indonesia yang akan didirikan. Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi ala Turki di bawah Kemal Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. Tulisan-tulisannya yang mengeritik pandangan nasionalis sekuler Sukarno ini kemudian dibukukan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid buku Capita Selecta.
Kegiatan politik Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta 1948 Natsir ditujuk sebagai Menteri Penerangan. Sebagai menteri, tanpa rasa rendah diri dia menerima tamunya di kantor menteri dengan pakaian amat sederhana, ditambal, sebagaimana ditulis kemudian oleh Prof. George Kahin, seorang ahli sejarah Indonesia berkebangsaan Amerika yang waktu itu mengunjunginya di Yogya.
Ketika terbentuknya negara RIS sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, Natsir memelopori kembali ke negara kesatuan RI dengan mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS pada tanggal 3 April 1950. Bersama dengan Hatta yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri RIS, ide ini tercapai dengan dibentuknya negara kesatuan RI pada 17 Agustus 1950. Mungkin atas jasanya itu, Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Sukarno, atau juga karena pengaruhnya yang besar, sebagaimana kemudian terlihat dari hasil Pemilu 1955..
Tidaklah mudah menjadi Perdana Menteri dalam keadaan sulit ketika itu. Hampir di semua daerah terdapat perasaan bergalau akibat perang yang menimbulkan rasa ketidak-puasan di mana-mana. Beberapa tokoh yang selama ini berjuang untuk Republik berontak, seperti Kartosuwiryo dan kemudian Kahar Muzakkar. Pengikut RMS dan Andi Azis yang berontak ke pada Hatta masih belum tertangani. MMC (Merapi Merbabu Complex) yang beraliran komunis berontak di Jawa Tengah. Daud Beureuh menolak menggabungkan Aceh ke dalam propinsi Sumatera Utara. Walaupun kemudian Natsir pada bulan Januari 1951 berhasil membujuk Daud Beureuh yang sengaja berkunjung ke Aceh sesudah Assaat dan Syafruddin gagal meyakinkannya, namun Daud Beureuh meninggalkan pemerintahan dan pulang kekampungnya di Pidie. Dengan berat hati Natsir terpaksa membekukan DPR Sumatera Tengah dan mengangkat gubernur Ruslan Mulyoharjo sebagai gubernur. Dalam waktunya yang pendek (September 1950-April 51) Natsir membawa RI dari suasana revolusi ke suasana tertib sipil dan meletakkan dasar politik demokrasi dengan menghadapi bermacam kendala, termasuk perbedaan pendapat dengan Sukarno dan partainya PNI.
Sesudah meletakkan jabatannya di pemerintahan, Natsir aktif dalam perjuangan membangun bangsa melalui partai dan menjadi anggota parlemen. Pada pemilihan umum 1955 Partai Islam Masyumi yang dipimpinnya mendapat suara kedua terbanyak sesudah PNI walaupun memperoleh kursi yang sama dengan PNI. Pada sidang-sidang konstituante antara 1956-1957 dengan gigih dia mempertahankan pendiriannya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sebelum sidang konstituante ini berhasil menetapkan Anggaran Dasar Negara, Sukarno memaklumkan kembali ke UUD 1945 dan membubarkan parlemen serta konstituante hasil pemilu. Natsir menjadi penantang ide dan politik Sukarno yang gigih dan teguh.
Penantangannya kepada Sukarno terutama karena Sukarno kemudian berubah menjadi pemimpin yang otoriter dan menggenggam kekuasaan di tangannya sendiri dengan bekerjasama dengan Partai Komunis Indonesia dan partai lain yang mau menuruti kemauan Sukarno. Bukan saja Natsir, Hatta pun malah juga terdesak. Hatta meletakkan jabatannya sebagai usaha mengembalikan presiden Sukarno ke jalur yang benar, tapi hal itu malah makin membuat Sukarno leluasa. Natsir makin terjepit karena pengaruh PKI yang anti Islam.
Pergolakan politik akibat perebutan hegemoni Islam dan non Islam yang mencuat secara demokratis di parlemen diikuti pula oleh kekisruhan ekonomi dan politik secara tidak terkontrol di luar parlemen. Hal ini berujung dengan munculnya kegiatan kedaerahan yang berpuncak pada pemberontakan daerah dan PRRI pada tahun 1958. Natsir yang dimusuhi Sukarno bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap melarikan diri dari Jakarta dan ikut terlibat dalam gerakan itu. Karena itu partai Masyumi dan PSI Syahrir dipaksa membubarkan diri oleh Sukarno.
Ketika PRRI berakhir dengan pemberian amnesti, Natsir bersama tokoh lainnya kembali, namun kemudian ia dikarantina di Batu, Jawa Timur (1960-62), kemudian di Rumah Tahanan Militer Jakarta sampai dibebaskan oleh pemerintahan Suharto tahun 1966. Ia dibebaskan tanpa pengadilan dan satu tuduhanpun kepadanya.
Walaupun tidak lagi dipakai secara formal, Natsir tetap mempunyai pengaruh dan menyumbang bagi kepentingan bangsa, misalnya ikut membantu pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia. Melalui hubungan baiknya, Natsir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Malaysia Tungku Abdul Rahman guna mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia yang kemudian segera terwujud.
Karena tidak mungkin lagi terjun ke politik, Natsir mengalihkan kegiatannya, berdakwah melalui perbuatan nyata dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Pada tahun 1967 dia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang aktif dalam gerakan amal. Lembaga ini dengan Natsir sebagai tokoh sentral, aktif berdakwah bukan saja kepada masyarakat dan para mahasiswa di Jakarta dan kota lainnya, tapi juga di daerah terasing, membantu pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan mesjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah. Bahkan di antara mahasiswa ini kemudian menjadi tokoh nasional yang religius seperti Amien Rais Yusril Ihza Mahendra, dan Nurchalis Majid, di antara beberapa tokoh penggerak orde reformasi yang mengganti orde Suharto. Kegiatan dakwahnya ini telah menyebabkan hubungannya dengan masyarakat luas tetap terpelihara, hidup terus sebagai pemimpin informal. Kegiatan ini juga membawa Natsir menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional dengan menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967)dan anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di samping bantuan para simpatisannya di dalam negeri, badan-badan dunia ini kemudian banyak membantu gerakan amal DDII, termasuk pembangunan Rumah Sakit Islam di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London.
. Namun kebebasannya hilang kembali karena ia ikut terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980. Ia dicekal dalam semua kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri. Sejak itu Natsir aktif mengendalikan kegiatan dakwah di kantor Dewan Dakwah Salemba Jakarta yang sekalian berfungsi sebagai masjid dan pusat kegiatan diskusi, serta terus menerus menerima tamu mengenai kegiatan Islam.
Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.
Pada tanggal 7 Februari 1993 Natsir meninggal dunia di Jakarta dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tapi juga dari luar negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang mengirim surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia
Walaupun telah tiada, buah karya dan pemikirannya dapat dibaca dari puluhan tulisannya yang sudah beredar, mulai dari bidang politik, agama dan sosial, di samping lembaga-lembaga amal yang didirikannya. Perkawinannya dengan Nur Nahar, aktifis JIB pada tahun 1934 di Bandung telah memberinya enam orang anak.
Oleh Shofwan Karim



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad Syafi'i Ma'arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1993)
Ajib Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, (Jakarta : Girimukti Pasaka, 1990)
Anwar Harjono, et-al., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996)
Lukman Harun, "Hari-Hari Terakhir PDRI" dalam Endang Saifuddin Anshari dan Amin Rais, Pak Natsir 80 Tahun, Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, (Jakarta : Media Dakwah, 1988)
Mohammad Natsir, “Politik Melalui Jalur Dakwah” dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)
Mohammad Natsir, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, (Jakarta : Media Dakwah, 1987)
Tohir Luth, M.Natsir, Dakwah dan pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani, 1999)
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam dan Demokrasi, Pandangan Politik M.Natsir dalam Islamika No.3, 1994
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 tahun, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978)
Readmore »

Minggu, 24 Mei 2009

Summary Penelitian Keberatan Penggunaan Metode Hermeneutika pada Al Qur’an

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu keunikan yang dimiliki Al Qur’an adalah sifat keuniversalannya. Al Qur’an yang merupakan pedoman hidup umat Islam selalu cocok dengan segala zaman dan tempat. Keuniversalan Al Qur’an itu pula yang dimanfaatkan oleh manusia untuk selalu mempelajari, memahami dan mengembangkannya. Al Qur’an yang merupakan nash yang sudah selesai, final dan terbatas, selalu berinteraksi dengan zaman dan tempat yang berbeda dengan muatan persoalan yang sangat kompleks. Interaksi yang sudah cukup lama itu tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun, hingga dunia berakhir. Karenanya harus digunakan berbagai pendekatan yang diharapkan mengahasilkan pemahaman yang utuh dan komprehensif bagi jawaban persoalan manusia dizamannya.

Usaha untuk merumuskan sebuah metode pendekatan terhadap Al Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif, inklusif serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat manusia , mendorong para pemikir Islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, M. Arkoun, Nasr Hamid Abu Yazid, Hasan Hanafi, Farid Essack dan lain-lain untuk mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi dan mengembangkan metodologi penafsiran Al Quran.Salah satu metode yang ditawarkan adalah metode hermeneutika.

Hermeneutika adalah satu bentuk pendekatan terhadap teks yang memasukkan pertimbangan ilmu-ilmu modern yakni filsafat, bahasa, sejarah, antropologi terutama filsafat ilmu yang berkembang di Barat. Asumsi teori hermeneutika ialah makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada satu masa saja, tetapi selalu berubah sesuai dengan perjalanan waktu. Hal ini menandakan bahwa interpretasi tidak cukup dilakukan satu kali saja, sehingga dapat dibakukan untuk pemakaian jangka waktu yang cukup lama. Tidak satu kanonpun yang senantiasa bertahan dalam waktu yang lama dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Untuk itu interperetasi akan selalu diperbaharui sesuai dengan tuntunan yang berlaku.

Metode hermeneutika yang sudah berkembang dewasa ini mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat muslim dunia. Sebagai wacana yang terus dan sedang berkembang metode inipun diuji kevaliditasannya. Realitas yang berkembang menyatakan banyak yang pro penggunaan metode hermeneutika namun tidak sedikit pula yang menolak penggunannya pada penafsiran Al Qur’an. Merespon metode baru ini adalah hal yang sangat baik ketika adanya upaya untuk selalu berinteraksi dengan Al Quran serta mengupanyakan penafsiran yang lebih baik.Namun mendengarkan suara dari kelompok yang berseberangan juga hal yang penting dan tidak boleh diabaikan untulk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan bersikap hati-hati dalam menggunakan metode baru.

Untuk itulah penulis merasa penting melakukaan kajian terhadap pemikiran kelompok yang berkeberatan menggunakan metode hermeneutika dalam penafsiran Al Qur’an.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Mendeskripsikan pendapat yang keberatan menggunakan metode hermeneutika pada Al Qur’an.

Adapunn batasan masalah penelitian ini adalah hanya memfokuskan pada pemikiran tokoh yang berkeberatan dengan penggunaan metode hermeneutika pada Al Qur’an dengan alasan-alasannya.

C. Tujuan Peneltian

1. Untuk mengetahui alasan dari beberapa pemikir Islam yang menolak penggunaan hermeneutika pada Al qur’an

2. Untuk menjaga dan memelihara sikap kehati-hatian dalam mengguakan metode baru untuk mengaktualkan pesan Allah Swt dalam Al Qur’an

D. Faedah penelitian

1. Mendapatkan pemahaman yang utuh dan komprehensif dari pemikir Islam yang menolak penggunaan metode hermeneutika pada Al Qur’an

2. Supaya terhindar dari kesalahan menjelaskan kepada mahasiswa serta masyarakat tentang penggunaan metode hermeneutika pada Al Qur’an.

E. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah model Penelitian Pustaka atau Library Riserch dengan mengumpulkan artikel atau tulisan-tulisan, buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Adapun metode yang digunakan adalah deskriptif interpretative. Dalam hal ini peneliti berusaha menjelaskan apa adanya pemikiran yang menyatakan keberatan atau menolak penggunaan hermeneutika pada Al Qur’an.

F. Hasil penelitian

Adnin Armas dalam tulisannya menyebutkan terdapat beberapa alasan untuk menolak penggunaan hermeneutika pada Al Qur’an. Seperti yang dijlaskannya berikut ini : William Dilthey (1833-19110 ) dalam artikelnya yang terbit pada tahun 1860 yang berjudul “Hubungan Hermeneutika Schleirmacher kepada sejarah dalam filsafat dan teologi) menyimpulkan Protestan sebagai pemicu munculnya sebuah teori tentang penafsiran Bibel.Hal ini didorong ketika otoritas Gereja dalam menafsirkan kitab suci dipertanyakan , maka penafsiran terhadap bible menjadi sebuah persoalan. Dalam artikel lainnya Dilthey juga menegaskan bahwa adanya keterkaitan antara munculnya Protentanisme dengan kemunculan hermeneutika.(Armas, t.th,1)

Selain persoalan penafsiran teks bible yang rumit ,persoalan lain yang menjadi latar belakang munculnya hermeneutika adalah persoalan tentang otentisitas teks bibel itu sendiri. Pada abad ke-17 dan ke-18 , pendekatan kritis kepada bibel (Perjanjian lama dan Perjanjian Baru) yang merupakan bagian dari hermeneutika teologis telah berkembang. Studi kritis terhadap Perjanjian Lama juga sudah dilakukan diantaranya oleh Isaac de la peyrere, Baruch Spinoza, dan Richard Simon. Studi keritis Perjanjian Baru juga sudah dilakukan oleh Richard Simon, John Mill, Dr Edward Wells dan lain-lain.

Karya para teolog tersebut telah menolak tafsiran tradisional bahwa asal-muasal Ilahi sebagai otoritatif. Studi kritis PL telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks sebagai cara untuk memahami isi, menyandarkan kepada bukti internal teks sebagai dasar kepada diskusi mengenai integritas dan pengarang teks, dan menacari situasi sosiologis dan histories sebagai konteks yang sesuai untk memahami asal-mula dan penggunaan materi. Pendapat lain yang senada yakni pendapat Yunahar Ilyas yang menyatakan sejak awal Bibel memang sudah bermasalah dengan teksnya, oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstual dan dilihat dari sosio histories si penulis dalam menafsirkan Bibel. Bibel mempunyai beberapa penulis yang dianggap mendapat inspirasi dari roh kudus seperti Markus,Yohannes, Matius dan sebagainya. Yunahar Ilyas juga menambahkan bahwa tafsir Al Qur’an berbeda dengan hermeneutika. Keduanya berangkat dari tradisi yang berbeda. Tafsir dilatar-belakangi oleh tradisi keislaman sedangkan hermeneutika mewakili tradisi filsafat Yunani. (Ilyas,2003,42). Jika keontentikan Bibel dipertanyakan bagaimana mungkin hal itu diterapkan pada Al Quan yang dipahami sebahagian umat Islam bahwa Al Qur’an adalah kalamullah. Lafaz dan maknanya adalah dari Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw melalui perantara Jibril.
Teori Schleirmacher berikutnya menjelaskan bahwa tugas hermeneutic adalah memahami teks sebaik dan lebih baik daripada pengarangnya sendiri. Dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami dirinya sendiri. Jika teori hermeneutika Schleirmacher diaplikasikan untuk menafsirkan Al Qur’an, maka seorang penafsir Al Qur’an akan lebih memahami Al Qur’an dari pada pengarangnya yakni Allah Swt. Konsekwensinya adalah Al Quran akan disamakan dengan teks-teks lainnya. Kesimpulan tersebut sangat bertolak belakang dengan tradisi ilmu tafsir yang diwariska para ulama. Al Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan pada nabi Muhammad baiklafaz maupun maknanya.
Readmore »